Bianca menatap jam tangannya
berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak
tadi terus menemani kesediriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat,
jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan kanannya.
Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Bianca
kembali menatap jarum jam, setelah itu ia memerhatikan awan yang semakin
gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya semakin terlihat
jelas.
“Kevin belum juga pulang.”
ucapnya perlahan dalam hati.
Disentuhnya plastik berisi dua
bungkus nasi goreng yang ia beli di sebuah restaurant mungil di ujung jalan,
sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ia datang ke tempat kost Kevin. Dua
jam sudah ia menunggu, sementara Kevin tak kunjung pulang. Kevin juga tak
membalas pesan singkat yang dikirim Bianca untuknya. Hujan semakin deras,
Bianca semakin cemas. Bianca tetap saja melihat handphonenya, meskipun tak ada
satu pesan pun dari Kevin, meskipun Kevin tak kunjung memberi kabar.
Terdengar desah suara mobil dari
luar pagar, seseorang keluar dari mobil itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu
membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat di depan Bianca. Bianca tersenyum
lega.
“Kamu baru pulang? Sama siapa?
Kehujanan ya?” tanya Bianca, masih dibalut wajah cemasnya.
“Kamu ngapain di sini sih?!” ujar
Kevin setengah membentak.
“Aku mau bawain kamu nasi goreng.
Kemarin, kamu sms ke aku katanya lagi pengen nasi goreng yang di ujung jalan
itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Bianca dengan simpul senyum kecil
bibirnya.
Kevin mengalihkan pandangannya,
ia tak mau menatap Bianca, “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!”
bentaknya dengan nada tinggi.
Bianca hanya menatap sosok Kevin
dengan wajah bingung, bentakan keras Kevin membuatnya mundur satu langkah dari
posisi ia berdiri diawal.
“Tadi kamu pulang sama siapa?”
tanya Bianca menahan rasa sedihnya.
“Sama mantanku, kenapa? Eh, aku
heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya
enggak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab Kevin enteng, dengan wajah
seakan-akan ia tak menyakiti hati Bianca.
“Oh…” ungkap Bianca menahan
amarah. “Syukurlah kalau kamu bisa pulang sama dia, kamu juga enggak terlalu
kehujanan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.”
“Bawa aja nasi gorengnya, aku
tadi udah makan kok sama dia.” tungkas Kevin dengan nada enteng.
“Enggak usah, kamu bawa aja. Aku
pulang ya. Nanti langsung mandi dan keramas habis itu minum teh hangat supaya
kamu enggak kedinginan.” tegas Bianca sambil menatap wajah Kevin dengan
penuh perhatian.
Kevin tetap membuang muka,
sesekali Kevin menatap Bianca. Pandangannya mencuri-curi celah untuk menatap
Bianca. Tapi, tetap saja dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa Kevin tak
peduli dengan Bianca. Kevin tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang
Bianca simpan dalam-dalam. Padahal, rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta
dan perhatian. Perhatian yang diabaikan layaknya rasa sakit yang diam-diam
menghujam. Itulah yang dirasakan Bianca. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang
dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.
***
Suara mahasiswa yang menderu
membuat Bianca pusing tujuh keliling. Bianca adalah wanita plegmatis yang
kadang membenci keramaian. Ia hanya duduk sendirian, merasakan angin genit yang
bermain dengan rambut hitamnya. Kevin berjalan di depannya namun Kevin acuh tak
acuh, tak mau menatap sosok Bianca yang menunggunya sejak tadi.
Bianca terbangun dari bangkunya,
ia berlari-lari kecil mengejar sosok Kevin, “Kamu kenapa akhir-akhir ini cuek
banget?”
Kevin mengarahkan pandangannya
pada Bianca, “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku bukan istriku, salahku kalau
nyuekin kamu?”
Bianca mengehentikan langkahnya,
ia tertunduk seusai mendengar ucapan enteng yang terlontar begitu saja dari
bibir Kevin, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam
hidupmu?”
“Kapan? Kenapa bertanya? Bukankah
aku selalu menghargai kamu?” tanya Kevin dengan nada keheranan.
“Padahal, apa yang tidak
kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu
menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakukanmu dengan baik
meskipun kadang kautak menghargai aku.” jelas Bianca dengan matanya yang mulai
berair.
“Wanita bodoh! Jangan jadikan air
matamu sebagai senjata pamungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan mantanku.
Dia jauh lebih kuat daripada kamu!” tungkas Kevin dengan nada tinggi.
“Ya… aku memang tidak seperti
mantanmu. Aku memang tidak secantik dan setegar dia. Aku memang tidak secerdas
dan semandiri dia. Aku jelas-jelas tak luar biasa seperti dia. Tapi, dia hanya
masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini yang mungkin akan kaubawa ke masa
depanmu!” Bianca menatap Kevin dengan tatapan serius. Tak pernah Kevin melihat
Bianca sekeras dan seberani itu.
“Kamu memang tidak seperti
mantanku.” ucap Kevin singkat.
“Aku memang tidak seperti
mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku
sendiri. Kenyataannya kamu memang tidak bisa melupakan mantanmu dan masa
lalumu.” ujar Bianca memicingkan mata, tatapannya tajam menatap Kevin.
“Bukan urusanmu!”
“Dan, aku sangat kecewa pada
diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu lupa pada masa lalumu.”
“Masa lalu bukan untuk dilupakan,
masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran.”
Mata Bianca memerah, cahayanya
yang bening tak lagi bersinar dari bola matanya, “Aku juga kecewa pada diriku
sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku lalu melupakan
mantanmu?”
Kevin tak tega menatap Bianca, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap
wanita yang sedang menangis, “Sudahlah…” ucap Kevin perlahan. “Jangan
menangis.”
“Kita akhiri saja semua kalau
memang kamu masih berhenti pada masa lalumu. Kita akhiri saja semua kalau
memang kaulebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai disini, kalau masa
lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.”
“Maksudku bukan seperti itu,
Sayang.” dengan nada sok manja, Kevin menarik lengan Bianca. “Maaf ya?”
“Percuma ada kata maaf jika kau
tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kauterus mengulang kesalahan yang
sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang
sepertimu dimasa depanku.” Cetus Bianca, meghempaskan lengan kevin dari
lengannya.
Kevin tak menyangka bahwa wanita
yang beberapa bulan ini disiksanya juga mampu menyiksanya dengan cara yang
menyakitkan. Hukum karma ternyata berlaku, jika seseorang menyakiti hati orang,
maka akan ada saatnya hatinya juga akan tersakiti. Kevin hanya mematung menatap
Bianca, menatap punggungnya hilang dari pandangannya.
***
Jam waker melakukan tugasnya
dengan baik, celotehnya yang berisik membangunkan Kevin yang masih saja
terantuk di ujung kantuk. Dimatikannya jam waker itu, ditariknya lagi selimut
yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding,
sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan
singkat dari Bianca. Tak ada suara ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita
yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan kesukannya. Tak ada sosok wanita
yang meletakkan teh hangat di dekat tempat tidurnya. Tak ada lagi Bianca yang
memerhatikan sosoknya. Ia merasa kesepian. Rasa membutuhkan baru ia rasakan
ketika ia telah kehilangan.
Kevin menghela nafas. Ia menarik
selimut menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih menggigil, demamnya tak juga
turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya
masih saja menusuk tulang. Sosok Bianca yang ia harapkan tergopoh-gopoh membawa
obat tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya detak jam dinding
yang mendesah perlahan kala itu.
Kevin kembali menghela nafas. Ia
menarik selimut menutupi wajahnya. Ada gerimis kecil dimatanya, gerimis itu
bernama air mata.